#toc { border: 0px solid #000000; background: #ffffff; padding:2px; width:495px; margin-top:10px;} .toc-header-col1, .toc-header-col2, .toc-header-col3 { background: #B5CBFA; color: #000000; padding-left: 5px; width:250px;} .toc-header-col2 { width:75px;} .toc-header-col3 { width:125px;} .toc-header-col1 a:link, .toc-header-col1 a:visited, .toc-header-col2 a:link, .toc-header-col2 a:visited, .toc-header-col3 a:link, .toc-header-col3 a:visited { font-size:100%; text-decoration:none;} .toc-header-col1 a:hover, .toc-header-col2 a:hover, .toc-header-col3 a:hover { font-size:100%; text-decoration:underline; color:#3D3F44;} .toc-entry-col1, .toc-entry-col2, .toc-entry-col3 { padding-left: 5px; font-size:100%; background:#f0f0f0;} Mahasiswa Komunikasi Unhalu Kendari

Rabu, 22 Oktober 2008

Saatnya Film Indonesia Bangkit


Krisis Ideologi Perfilman Nasional

Bangkitnya kembali dunia perfilman Indonesia, yang ditandai Festival Film Indonesia (FFI) 2004, sudah barang tentu patut disyukuri oleh semua pihak. Paling tidak, setelah “tertidur pulas’ selama kurang lebih 10 tahun (1993–2003), dunia perfilman di Indonesia kembali menggeliat. Seiring dengan ini, semangat (ghirah) sineas Indonesia, juga turut bangkit, ditambah lagi dengan munculnya sineas muda dan berbakat. Sebut saja, Hanung Bramantyo, Riri Reza, Rudi Sujarwo, dan sineas lainnya yang tak bisa disebut satu persatu. Bukan saja kalangan muda ternyata, tetapi aktor gaek sekaliber Dedy Mizwar, Didi Petet, Slamet Raharjo dan seangkatannya juga bangkit kembali menyentak dunia perfilman nasional. FFI 2004, seolah mengingatkan kembali FFI 1955, yang merupakan pertama-kalinya penyelenggaraan FFI.

Mengiringi kebangkitan perfilman nasional, pada hari Sabtu, 12 Mei 2007, stasiun televisi swasta RCTI secara langsung juga kembali menayangkan Malam Anugerah Film Indonesia, dengan judul acara “Indonesian Movie Awards 2007” (IMA). Gebyar malam anugerah perfilam nasional itu, secara langsung atau tidak juga menjadi sebuah catatan —sekaligus akan terus menjadi ajang adu kreatifitas bagi kalangan perfilman nasional.

Sebab dalam acara IMA inilah, baik buruknya sebuah karya para sineas Indonesia akan dipertaruhkan di mata publik. Namun di sisi lain, di tengah gegap gempitanya perfilman nasional, ada dua dimensi krusial yang sangat dilematis. Di satu sisi, para sineas Indonesia, dituntut beberapa kalangan untuk menjadi penyambung 'tangan tuhan' dalam menyampaikan 'pesan kebaikan' melalui layar lebar dan layar kaca. Namun di sisi lain, para sienas juga dihadapkan pada tuntutan 'material' dari beberapa Rumah Produksi (Production House-PH) dan produser, yang sering kali mengakibatkan terjadinya pergeseran komitmen ideologi pada sineas Indonesia. Ironisnya, sebagian sineas kita juga terjebak pada tuntutan itu, sehingga karya yang muncul bukan berdasar pada komitmen ideologi terhadap upaya membangun kecerdasan anak bangsa, melainkan berpihak pada ideologi material.

Pada sebagian PH, memang bukan target ideologi yang menjadi goal. Bagi sebagian PH logikanya adalah; ”bertahan dengan ideologi itu lapar.” Dengan logika meterial inilah, maka semua gagasan--sekalipun itu 'ide kacangan' tetap saja diproduksi. Dan anehnya, masyarakat kita juga kemudian berbondong-bondong ke bioskop untuk 'mengunyah' dan memakannya. Menelan mentah-mentah lagi.

Tidak salah memang. Memenuhi kebutuhan materi bagi PH, secara otomatis juga membantu 'dapur domestik'-nya para crew dan artis, sehingga dunia perfilman nasional akan tetap survive. Namun menayangkan sebuah karya, baik malalui layar lebar atau layar kaca, yang hanya dilandasi pada kepentingan 'kapitalis,', tanpa mempertimbangkan dampak buruk dari sebuah karya terhadap khalayak, merupakan bentuk 'pengingkaran' nyata terhadap ideologi dan nilai-nilai, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.

Sebab diakui atau tidak, film, sinetron dan iklan, akan sangat kuat dalam menciptakan opini publik, yang sudah pasti publik hanya akan menjadi penonton setia dalam setiap tayangan yang disiarkan. Dengan realitas ini, sangat mungkin jika kemudian film, sinetron dan iklan juga akan menjadi agama --meminjam istilah Jalaludin Rahmat-- yang setiap waktu, 'ajarannya' akan menjadi tuntunan bagi siapapun juga.

Tulisan ini, sudah barang tentu akan dihadapkan pada logika bisnis ; 'ini tuntutan pasar.' Tetapi disadari atau tidak, tidak semua tuntutan pasar itu baik. Sebab, sekali lagi, memunculkan karya yang hanya didasari pada 'untung-rugi,' secara material, sama saja perfilman nasional tengah 'meracuni' ideologi anak bangsa ini. Jika ini yang akan terus terjadi, maka sudah jelas, para sineas kita sedang terjangkiti 'krisis ideologi.'

Posisi seperti sekarang, bagi para sineas Indonesia, terutama sineas muda, memang menjadi sesuatu yang sangat dilematis. Belum lagi Lembaga Sensor Film (LSF), yang sering kali memilih meloloskan film-film yang 'aman' dari tekanan pihak-pihak tertentu, yang mungkin merasa dirugikan dengan produksi sebuah film. Sebut saja, film Marsinah, yang sempat mendapat tekanan dari pemerintah dan TNI, hanya lantaran ada dugaan terbunuhnya Marsinah, melibatkan unsur TNI. Dan dikhawatirkan, jika film Marsinah diloloskan akan mengungkap masa lalu, yang sudah pasti pihak yang merasa terlibat akan berusaha keras untuk melarang produksi fim tersebut. Ini hanya satu contoh kasus saja. Tentu masih banya lagi film jenis lain yang lebih ideolgis, tetapi tidak diloloskan oleh LSF, dengan alasan untuk menjaga stabilitas nasional.

Kritikus Film


“Sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia”.

Kalimat itu diucapkan oleh dua penonton berbeda sesudah menonton dua film berbeda di tahun 2007 lalu. Mereka menyatakannya sesudah menonton film Nagabonar Jadi 2 (Deddy Mizwar) dan Kala (Joko Anwar). Kedua film itu menghasilkan reaksi serupa. Kenapa? Lebih menggelitik lagi, memang adakah “Indonesia” dalam kedua film tersebut?

Mencari sebuah kolektivitas bernama negara bangsa dalam sebuah film seharusnya bukan merupakan proses yang kelewat rumit. Beberapa akademisi dan kritikus memang menggunakan pendekatan faktual yang menyatakan bahwa apa yang ada di layar itulah sesungguhnya wajah kita. Layar hanya cermin saja bagi apa yang sebenarnya menjadi impian dan idealisasi kita (secara sadar ataupun tidak).

Pendekatan lain menghindar cara berpikir demikian. Mengidentikkan gambaran di layar dengan diri sendiri berarti tunduk pada selera massa yang mudah dikendalikan oleh rangsangan instan terhadap impuls manusia. Film sebagai media yang larger-than-life selalu punya perangkat paling lengkap dan efektif dalam mengendalikan impuls itu. Maka penyerupaan layar film dengan wajah kita adalah sebuah misrepresentasi yang berbahaya, karena di dalamnya terkandung penghindaran terhadap soal-soal yang berada di luar jangkauan impuls yang instan itu. Per